GENDERUWO PENUNGGU HUTAN GERUMBUL - BERBAGI SUKSES

Thursday, 3 October 2024

GENDERUWO PENUNGGU HUTAN GERUMBUL

 


Di suatu desa yang terpencil hiduplah keluarga yang sangat bahagia. Desa tersebut sangat jauh dari keramaian kota dan memang desa tersebut adalah daerah pemekaran baru. Sebut saja nama desa itu Pelempang II. Kehidupan warga desa Pelempang II sangat rukun dan damai, sebagian besar mata pencaharian masyarakat tersebut sebagai buruh tani karet, ada juga yang bekerja sebagai tani sayuran yang hasilnya dijual ke pasar desa seberang.

Pak Wiryo tinggal bersama bersama istrinya Bu Ratmi dan anaknya bernama mamat di rumah kecil yang sederhana. Setiap hari pak wiryo bekerja sebagai petani sayuran. Seringkali pak wiryo mencari tambahan  uang dengan mencari akar pohon pelawan untuk dijadikan arang. Pak Wiryo bekerja saling bahu-membahu bersama sang istri untuk mencukupi hidup keluarganya. Mamat sendiri masih sekolah di SDN Suban Baru di kelas 4. Sedikit banyak mamat sudah ndolor (mengerti) tentang kehidupan keluarganya. Hidup dalam kesederhanaan, bahkan sering kekurangan. Makanya Mamat tidak pernah meminta yang aneh-aneh kapada orangtuanya.

Siang itu terik matahari serasa diatas ubun-ubun.  Mamat pulang sekolah tidak seperti biasa bareng teman-temannya. Ternyata Mamat sedang ada masalah dengan teman-temannya. Setelah Mamat pindah sekolah ikut bersama Pak Wiryo dan Bu Ratmi, Mamat harus dituntut untuk bersosialisasi dengan teman baru yang ada di desa. Tidak enaknya adalah karena teman-teman barunya sering menjahili bahkan sering menghardik Mamat. Itulah yang membuat Mamat malas berteman dengan mereka. Siang itu Mamat pulang sekolah mengendarai sepeda lewat jalan berbeda dengan jalan saat berangkat sekolah. Mamat tidak ingin pulang bareng temannya karena jengkel waktu di sekolah berantem dengan Candra gara-gara nilai Mamat lebih besar daripada Candra.

Mamat sebenarnya sedikit menyesal saat memutuskan pulang sekolah memilih jalan yang berbeda. Ada dua alasan yang muncul dibenak Mamat. Pertama, jalan yang ditempuh lebih jauh. Kedua, jalan yang Mamat pilih seram dan sepi. Tapi Mamat tidak ada pilihan lain kecuali terus melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

Mamat terus mengayuh sepedanya dengan nafas kembang kempis. Sesaat kemudian Mamat sampai disebuah jembatan yang dibawahnya memiliki air yang sangat jernih sekali. Mamat menepi ke pinggir jembatan menuju sebuah gubuk bekas tempat pembuatan batu bata. Mamat menaruh sepeda di pojokan gubuk, meletakkan tasnya di aatas sepeda, lalu menuju air sungai yang sangat jernih. Mamat mengambil air dengan tangannya lalu membilas wajahnya, sesekali Mamat meminum air sungai itu. Tiba-tiba Mamat dikejutkan suara dehem dari belakang gubuk, sontak membuat Mamat kaget. Karena saat menyandarkan sepeda di gubuk tadi tidak ada orang. Mamat menoleh ke arah gubuk, ia terkejud ternyata ada bapak tua memakai baju putih lusuh memakai topi sedang mengupas pisang lalu memulai percakapan.

“Loh, le.. kok dewean bali sekolahe ? koncomu podo ngendi ?” Tanya Pak Karno kepada Mamat. Mamat setengah gugup menjawab pertanyaan Pak Karno. “Eeee... anu.. mereka lewat jalan terobosan pak !”

“Opo koe ora wedi lewat kene dewean ? jalane sepi tur serem !”

“Oh.. enggak pak. Biasa mawon..! jawab Mamat dengan santai.

“Neng kene ki tempate angker le.. di jembatan itu sering ada penampakan. Disana ada makam tua angker, kamu hati-hati kalau lewat sini sendirian.” Pak Karno menunjuk ke arah hutan sebelah jembatan.

Nggeh pak... kalau begitu saya pamit pulang langsung pak.” Mamat tanpa basa-basi langsung mengambil sepeda beserta tasnya. Mengayuh secepat mungkin sepedanya. Anak sekecil itu diceritakan tentang kisah horror siapa yang tidak langsung berdiri bulu kuduknya.

Mamat mulai memelankan kayuhan sepedanya dan berpikir sepertinya sudah jauh dari jangkauan Pak Karno tadi. Mamat menepi ke pinggir jalan lalu berhenti sambil menarik napas. Dia memperhatikan tempat sekitarnya lalu matanya tertuju ke suatu tempat yang membuatnya penasaran. Dia melihat sebuah pohon tinggi besar yang memiliki daun yang sangat lebat jika dilihat dari kejauhan seperti tumbuhan bonsai. Tempat itu lebih mirip seperti hutan kecil karena ada berbagai tumbuhan disekitarnya. Tapi menurut Mamat ada yang aneh, anehnya adalah mengapa pohon-pohon yang rimbun hanya disekitarnya tok. Di seberang jalan tidak ada pohon yang rimbun. Sejauh mata memandang tidak ada pohon rimbun selain di depan tempat Mamat beristirahat. Seketika Mamat teringat kata-kata Pak Karno, dia lalu bergegas mangayuh sepedanya sekencangnya. Lima menit kemudian Mamat sampai dirumah.

Malam itu Pak Wiryo berencana untuk pergi ke rumah Mbah Sadiman. Kebetulan rumahnya ada di dusun seberang dimana jalannya harus melewati hutan yang tadi siang Mamat lewati. Pak Wiryo mengendarai motor bebek bermesin China dengan sorot lampu yang tidak terlalu terang. Pak Wiryo mengengkol motornya lalu berseloroh ke Mamat.

“Ayo nang.. ikut bapak main ke rumah Mbah Sasiman”

“Ayo...!” Mamat lalu naik ke atas motor tanpa pikir panjang.

Lima menit kemudian motor yang mereka kendarai sampai di depan hutan grumbul yang tadi siang Mamat lewati. Suasananya sangat hening dengan ditambah cahaya sinar bulan sabit remang-remang. Mamat mencium bau sesuatu. Bau itu sangat khas dan Mamat paham betul aroma baunya. Seperti bau ubi yang dibakar. Mamat makin penasaran dan bertanya kepada bapaknya.

“Pak.. nyium bau sesuatu nggak ?” tanya Mamat.

“Iya ya. Bau apa ini ya” Pak Wiryo menyahut.

“Seperti bau ubi bakar pak.” Imbuh Mamat.

Pak Wiryo tidak menanggapi lagi ucapan Mamat karena fokus nyetir motor. Beberapa saat kemudian sampailah di rumah Mbah Sadiman. Pak Wiryo ngobrol ngalor-ngidul dengan Mbah Sadiman seperti sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Ya memang Pak Wiryo sudah lama sekali tidak berkunjung ke rumah Mbah Sadiman, tidak sesering dulu karena banyak kesibukan di tempat kerja. Mbah Sadiman lalu menanyakan bagaimana keadaan keluarga Pak Wiryo. Pak Wiryo pun menjawab dengan santai saja.

“Pak wir, pripun kabare Mbah Timan sak keluarga ?” tanya Mbah Sadiman.

“Alhamdulillah sehat mbah, seger waras kabeh.” Timpal Pak Wiryo.

Lah, koe saiki sekolah kelas piro le ?” Mbah Sadiman menatap ke arah Mamat.

kelas 4 mbah.” Jawab Mamat.

Suasana pun hening sejenak. Mbah Sadiman menikmati hisapan rokok lintingan-nya (rokok hasil racikan sendiri) dengan khusyuk. Setelah memuntahkan asap rokok yang ketiga kalinya Mamat lalu berseloroh.

“Mbah, mbah tau hutan yang ada dipinggir jalan arah pulang sana nggak?” celetuk Mamat.

Mbah Sadiman tidak langsung menjawab. Mbah Sadiman merubah posisi duduk lalu meletakkan puntung rokoknya di asbak. Lalu menjawab apa yang diucapkan Mamat.

“Oh.. alas kono kae to le..?” Mbah Sadiman menunjuk ke arah tempat itu berada seolah tempat tersebut disamping rumahnya.

Nggeh mbah.” Jawab Mamat.

“Oh, yo yo yo.. mbah ngerti le. Emange nyapo le kok takon iku ?” Mbah Sadiman menatap tajam wajah Mamat.

Mendengar pertanyaan Mbah Sadiman, Mamat tidak berani melanjutkan ceritanya. Mamat lalu mendekatkan badannya ke Pak Wiryo. Dan Pak Wiryo lah yang melanjutkan ceritanya.

Anu mbah.. tadi waktu berangkat kesini saya dan mamat pas di hutan itu mencium bau ubi bakar mbah. Kira-kira bau opo iku mbah ?” tanya Pak Wiryo dengan rasa penasaran.

Mendengar ucapan Pak Wiryo, Mbah Sadiman terkekeh lalu pergi ke dapur mengambil kendi kecil berisi air putih dan membawa satu sisir pisang gedah untuk disantap.

Saiki minum sek.. mbah lupa ngasih air minum buat kalian. Ayo dicicipi Pak Wir, Le..”

“Nggeh mbah.” Jawab Pak Wiryo sambil mengelupas kulit pisang sebelum disantap.

Pak Wiryo menikmati pisang yang dihidangkan oleh Mbah Sadiman, sedangkan Mamat masih kesusahan memotel pisang diatas piring. Lalu Mbah Sadiman memanjutkan ceritanya.

Pak Wir.. apa yang barusan kalian alami itu adalah hal yang tidak biasa.” Ucap Mbah Sadiman.

Mendengar jawaban Mbah Sadiman, Pak Wiryo menghentikan ngunyah pisangnya. Pak Wiryo tertegun sambil merubah posisi duduknya.

“Maksudnya mbah ? sahut Pak Wiryo.

“Bau ubi bakar yang kalian rasakan itu berasal dari Hutan Grumbul yang kamu maksud le. Disana tempat genderuwo bersemayam. Setiap malam memang disekitaran Hutan Grumbul mengeluarkan bau khas ubi bakar. Tapi kalian tidak usah takut, nanti kalau pulang banyak-banya membaca do’a ya le.” Ucap Mbah Sadiman.

“Kok saya jadi merinding mbah dengernya.” Seloroh Pak Wiryo.

“Wes ndak popo, yang kita ndak boleh takut sama setan. Kalo kita takut nanti setannya yang tambah berani menakuti manusia.” Pungkas Mbah Sadiman.

Pak Wiryo masih penasaran dengan cerita setan genderuwo penunggu Hutan Grumbul itu. Pak Wiryo menanyakan asal-usul cerita itu dari mana kepada Mbah Sadiman.

“Memang e genderuwo itu sejak kapan menempati hutan itu mbah ?”

“Saya juga ndak tau pastinya kapan Pak Wir, yang jelas bapak saya dulu pernah cerita, konon dulu di hutan itu ada sebuah pusaka berwujud tongkat berkepala manusia. Lalu ada seorang pemuda yang berusaha mencarinya dan akhirnya ketemu. Pemuda itu bernama Dalil. Awalnya tongkat itu berupa batang kayu pelawan hidup yang sangat lurus. Kayu tersebut kemudian dikupas kulitnya dan akhirnya menampakkan bentuk ukirannya sendiri. Pemuda tersebut membawanya pulang. Selang beberapa hari pemuda tersebut membawa tongkat tersebut ke orang pintar (dukun) untuk menanyakan tentang tongkat tersebut. Setelah kejadian itu Hutan Grumbul selalu mengeluarkan bau ubi bakar saat malam hari. Jadi begitu ceritanya.” Pungkas Mbah Sadiman.

Pak Wiryo hanya mengernyitkan dahinya sambil menelan ludah setelah mendengar penjelasan panjang Mbah Sadiman. Tidak terasa hari pun semakin malam, jam menunjukkan pukul 21:48 wib. Pak Wiryo tidak ingin melanjutkan cerita tentang genderuwo lagi bersama Mbah Sadiman. Pak Wiryo mengisyaratkan untuk pamit pulang kepada Mbah Sadiman.

“Nggeh pun mbah.. kulo tak pamit wangsul mawon, sampun dalu, mamat besok juga harus sekolah” Ucap Pak Wiryo.

“Oh.. Nggeh nek ngoten. Atos-atos mawon. Le.. mamat ojo lali baca do’a ya le..” jawab Mbah sadiman menatap wajah Mamat.

            Pak Wiryo menghidupkan motor. Pada saat engkolan yang ke sekian kali baru menyala motornya. Mamat berpamitan kepada Mbah Sadiman.

            “Mantuk mbah.” Ucap Mamat.

            “Iya le. Hati-hati.”

            Pak Wiryo mengendari motor sedikit tergesa-gesa setelah mendengar cerita Mbah Sadiman. Tidak seperti waktu berangkat tadi. Sedangkan Mamat duduk di belakang Pak Wiryo. Mamat memasukkan kepalanya ke baju Pak Wiryo bagian punggung dan memejamkan matanya. Mamat merasa ketakutan. Saat melintasi Hutan Grumbul Pak Wiryo dan Mamat kembali mencium bau ubi bakar. Rasa-rasanya bau tersebut semakin dekat. Sontak hal tersebut membuat Pak Wiryo tancap gas motornya meskipun jalannya sedikit rusak. Tidak beberapa lama kemudian mereka sampai dirumah dengan selamat. Semenjak saat itu Mamat tidak pernah mau diajak kerumah Mbah Sadiman saat malam hari.
Next
This Is The Current Newest Page
Comments


EmoticonEmoticon